Khamis, Jun 14, 2012

CINTA :D




Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah Berkumpul dalam cinta-Mu
Bertemu dalam taat-Mu
Menyatu menolong dakwah-Mu
Berjanji perjuangkan syariat-Mu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya

Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.

Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan tipenya bisa duduk santai di situ. Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?

Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban Perbedaan diantara mereka tidak akan mengubah situasi mereka, seperti kata Iqbal, sebagai sapu lidi yang diikat cinta untuk membersihkan kehidupan.

Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: “Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.” Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan cintalah sumbernya.

Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat.Tapi ikatan cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman. Dan abadi. Jadi biarkan Sang Imam mengumumkan kembali cintanya:Maka eratkan ikatannya. Dan abadikan cintanya?

~ Sendy Aldiana ~

semesta bertasbih




semesta bertasbih

subhanallah…

air bertasbih
dengan jernihnya yang terus mengalir
yang memberikan kehidupan pada tiap apa yang dia lewati

daun pun bertasbih
dengan kerelaannya dibawa ke mana pun arah angin berhembus

matahari dan bulan bertasbih
dengan siang dan malamnya
bertasbih dengan cahayanya yang menawan

hujan pun bertasbih
dengan indah pelanginya

gunung bertasbih
dengan bentangan yang menyejukkan

bayi pun bertasbih
dengan tangisannya yang memberi kita sebuah senyuman

laut bertasbih
dengan ombak yang bersahut

burung bertasbih
dengan nyanyian alam yang merindu

bintang-bintang pun bertasbih
alam raya pun bertasbih
dengan keluasannya yang tak terkira
dan semesta pun bertasbih..

kita pun bertasbih

mata bertasbih
dengan tunduk pandangannya
bertasbih dengan air matanya
air mata rindu pada Rasul nya
air mata sesal akan dosa dan maksiat sekecil apapun itu
air mata bahagia, syukur atas segala nikmat
air mata cinta kepada Rabb nya

tangan pun bertasbih
dengan kerelaannya meringankan beban saudaranya

kaki bertasbih
dengan ringan melangkah ke tempat yang Allah cintai

mulut bertasbih
dengan menjaga lisannya
bertasbih dengan kata-kata yang benar
bertasbih dengan senyum tulusnya

dan hati bertasbih
dengan penghambaan keikhlasannya
menjaga semuanya…

semarang, 07 februari 2011
salleum sami

Merawat CINTA




Cinta tak ubahnya seperti pohon yang tak selamanya terlihat segar.
Daun-daun yang dulu hijau cerah mulai menguning, akhirnya coklat kaku.
Bunga-bunganya yang pernah indah merekah kini layu.
Beberapa ujung tangkai pun mulai tampak mengering.


Begitulah hidup... Tak ada yang tetap dalam hidup.
Semuanya dinamis: bergerak dan berubah,
tumbuh dan menyusut, berkembang dan tumbang.
Apa pun dan siapa pun. Termasuk, cinta suami isteri.


Setidaknya, itulah yang kini dialami Bu Tati.
Ibu lima anak ini merasakan ada yang berkurang dari suaminya.
Tidak seperti dulu ketika anak masih satu, dua, hingga tiga.
Apalagi ketika belum ada anak. Wah, terlalu jauh perbandingannya.


Saat dulu, suami Bu Tati tak pernah ketinggalan telepon ke rumah sebelum pulang kantor.
Bahkan, sehari bisa tiga kali telepon. Kini, seminggu dua kali sudah teramat bagus.
Itu pun karena ada yang mau ditanyakan.


Dulu, kemana pun Bu Tati pergi, suami selalu antar jemput.
Paling tidak, mewanti-wanti agar ia berhati-hati.
“Hati-hati, ya Dik. Bisnya sering kebut-kebutan,” ucap suami dengan penuh perhatian.
Kini, menanyakan tujuan pergi pun sudah sangat bagus.


Dulu juga, suami kerap ngasih hadiah di hari-hari bersejarah.
Di antaranya, hari kelahiran, dan tanggal pernikahan.
Walau hadiah cuma pulpen, buku harian, atau Alquran saku.
Tapi, kesan yang timbul begitu dalam.
Kini, jangankan hadiah, ingat dengan momen itu saja sudah bagus.


Mengingat-ingat masa lalu, bikin Bu Tati mengoreksi diri. Apa yang salah.
Kalau cinta dihubung-hubungkan dengan rupa,kenyataan itu mungkin bisa diterima.
Ia memang bukan Tati dua belas tahun lalu. Banyak perubahan, memang.
Tapi, mestikah cinta dan perhatian harus menyusut..
sebagaimana berkerutnya wajah dan tidak langsingnya tubuh. Apa layak itu jadi alasan.


Bukankah cinta terlihat dari pandangan mata hati.
Bukan dari simbol-simbol fisik yang terlihat dari pandangan mata,
yang bisa menyilaukan ketika ada cahaya dan buram di saat gelap.
Bukankah cinta  perpaduan dari senang, kagum, cocok, sayang. Bahkan, kasihan.


Tidak jarang, cinta tumbuh pesat dari akar kasihan.
Bukan hal aneh jika seorang pemuda langsung melamar muslimah..
yang terusir dari rumahnya lantaran mengenakan busana muslimah.
Ada juga muslimah yang dilamar lantaran statusnya sebagai anak yatim miskin.


Lalu, kenapa cinta suami Bu Tati bisa menyusut.
Padahal kasih sayang Bu Tati tak pernah berkurang.
Dengan lima anak, Bu Tati pun mesti giat menggali kasih sayang
agar bisa merata ke anak-anaknya.
Bukankah ini sebuah bukti bahwa adakalanya cinta tersangkut pada rupa.


Menjamin lestarinya kasih sayang memang bukan perkara mudah.
Dan, lebih tidak mudah lagi menjamin bahwa kecantikan rupa tidak akan bergeser.
Karena sudah kepastian Allah bahwa muda akan menapaki anak tangga usia menuju tua.
Semakin banyak anak tangga yang ditapaki, makin berkurang nilai rupa.


Seorang teman Bu Tati pernah memberi anjuran soal menjaga nilai rupa.
Sang teman menganjurkan agar Bu Tati diet, senam, minum herba.
Tiga hal itu mesti dilakukan teratur dan terus-menerus.
“Repot memang. Tapi, itu penting. Supaya cinta suami tetap lestari,”
ungkap sang teman beriring canda.


Ucapan teman itu menguatkan dugaan Bu Tati: cinta juga berbanding lurus dengan rupa.
Boleh-boleh saja Bu Tati berdalih bahwa cinta melulu persoalan hati.
Tapi, bukankah manusia tidak semata-mata terdiri dari hati dan rasa.
Bukankah fisik juga bagian dari unsur manusia. Dan itu berarti keindahan rupa.


Jadi, bisa dibilang wajar kalau perhatian dan cinta suami menurun
lantaran nilai rupa Bu Tati berkurang. Benarkah ?
Ah, rasanya tidak. Di simpangan ini, Bu Tati ragu mau menempuh jalan mana.
Kok, sepertinya tidak adil....
Kalau dulu, Bu Tati masih sempat ngurus kecantikan, kesegaran, dan kebugaran tubuh.
Tapi, sekarang? Duduk istirahat saja sudah sangat sulit.
Selalu saja ada kesibukan: anak sakit, anak mau berangkat sekolah, anak punya PR sekolah,
anak mau makan, memasak menu kesukaan suami, mencuci, ngurus rumah.
Dan masih segudang persoalan rumah lainnya.
Itu pun belum termasuk tugas-tugas sosial masyarakat.


Nah, gimana mau diet, kapan mau fitnes, gimana bisa minum herba.
Bukankah diet butuh pilihan dan keteraturan makanan yang sehat dan baik.
Dan itu berhubungan erat dengan waktu dan uang.
Begitu juga dengan fitnes dan herba.
Sulit kan kalau waktu dan uangnya belum memadai. Jadi?


Harus ada langkah bersama supaya cinta tetap terawat.
Tidak semua sangkutan-sangkutan yang bikin redupnya cahaya cinta bersumber dari Bu Tati.
Bisa jadi, ada ketidakcocokan antara standar nilai rupa suami dengan kenyataan yang semestinya.
Kalau nilai rilnya memang hanya lima puluh, standarnya jangan dipatok sembilan puluh.
Susah ngejarnya. Paling tidak, selisih antara standar dengan kenyataan tidak lebih dari sepuluh.
Dan nilai sepuluh ini bisa dikejar dengan diet dan senam sederhana.
Kalau ada uang belanja lebih, bisa ditopang dengan herba.


Memang, kehangatan cinta bisa lahir dari stabilnya nilai rupa.
Tapi, unsur emosi pun punya andil yang lumayan besar.
Kalau cinta cuma berpatok pada langgengnya rupa,
mungkin rumah tangga kakek nenek akan bubar massal.


Di sinilah seninya bagaimana suami isteri bisa memainkan emosi
sehingga cinta menjadi indah untuk dinikmati.
Kepiawaian mengelola emosi juga mampu menjadikan cinta lestari.
Bayangkan, betapa jauhnya jarak usia antara Rasulullah saw dengan Aisyah:
kira-kira empat puluh tiga tahun. Belum lagi kesenjangan intelektual dan rupa.
Tapi, semua itu tidak jadi masalah lantaran irama emosinya begitu rapi dan indah.
Rasulullah tidak perlu ragu berlomba lari bersama isterinya,
mengecup kening isteri saat pergi ke masjid, bersenda gurau layaknya teman,
berdiskusi layaknya guru dan murid, dan sebagainya.


Justru, unsur emosilah yang kadang dominan dari nilai rupa.
Bu Tati punya kesadaran baru. Bahwa, merawat cinta merupakan upaya bersama
mengelola nilai rupa agar tidak jatuh drastis.
Dan, memainkan irama emosi dengan saling percaya dan saling membutuhkan.


Cinta memang tak ubahnya seperti pohon yang tidak selamanya segar.
Karena pohon memang tidak akan pernah kokoh
kalau hanya dinikmati kesejukan, keindahan, dan buahnya.
Ia juga butuh siraman air, kesuburan tanah, dan pagar perlindungan.